Sejarah Terbentuknya Pengadilan Agama Tuban
Pengadilan Agama Tuban dibentuk berdasarkan :
Staatsblad 1882 Nomor 152 Surat Keputusan Raja Belanda No. 24 tanggal 19 Januari 1882.
Pada waktu itu namanya masih jawatan kepenghuluan, kemudian terjadi perubahan nama dan wilayah hukum serta lokasi Pengadilan Agama Tuban berdasarkan PP Nomor 45 Tahun 1957.
Pengadilan Agama
di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat
administrasi kemasjidan setempat. Sidang - sidang pengadilan agama pada masa
itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering
pula disebut “Pengadilan Serambi”. Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah
swapraja Islam di seluruh Nusantara, yang kebanyakan menempatkan jabatan
keagamaan, penghulu dan atau hakim, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan
pemerintahan umum.
Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai
muatan atau isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak
dapat dipisahkan. Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan agama
mengalami pasang surut. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan
agama termasuk bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum, sebagai
penghulu kraton yang mengurus keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan. Pada
masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan
membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda,
namun kelembagaan ini tidak dapat betjalan karena tidak menerapkan hukum Islam.
Usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan agama yang identik dengan
hukum Islam, sudah dimulai sejak VOC mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara
ini. Usaha tersebut dengan cara mengurangi kewenangan peradilan agama sedikit
demi sedikit. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di
bawah penga¬wasan “landraad” (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang
berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk
“excecutoire verklaring” (pelaksanaan putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang
untuk menyita barang dan uang (Daud Ali : 223). Dan tidak adanya kewenangan
yang seperti ini terns berlangsung sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 ten tang Perkawinan.
Lahirnya firman
Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24, Staatsblad
1882 - 152 telah mengubah susunan dan status peradilan agama. Wewenang
pengadilan agam.a yang disebut dengan “preisterraacf’ tetap daIam bidang
perkawinan dan kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan
agama yang telah ada sebelumnya (Achmad Rustandi: 2), dan hukum Islam sebagai
pegangannya.
Berlakunya
Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa
dan Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf
dan waris hams diserahkan kepada pengadilan negeri. Mereka (Pemerintah Kolonial
Belanda) berdalih, bahwa dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Is¬lam
tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan
Madura serta di tempat-tempat lain di seluruh Indo¬nesia (Daniel S Lev: 35-36).
Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor lJSD
dibentuk Kementrian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal25 Maret
1946 Nomor 5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari
Kementrian Kehakiman ke dalam KementrianAgama. Langkah ini memungkinkan
konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah
wadahlbadan yang besnat nasional. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946
menunjukkan dengan jelas maksud- maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah,
Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian
Agama (Achmad Rustandi: 3).
Usaha untukmenghapuskan pengadilan agama masih terus berlangsung sampai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentangTindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok bahwa peradilan agama merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja dan peradilan adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah. Proses keluarnya peraturan pemerintah inilah yang mengalami banyak hambatan, sehingga dapat keluar setelah berjalan tujuh tahun dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 (Muchtar Zarkasyi : 33 - 37). Dengan keluarnya Undang -undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai nampakjelas dalam sistem peradilan di Indone¬sia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut :
Pertama, Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”;
Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara;
Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi;
Keempat, Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan.
Kelima, susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri.
Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sarna dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia.
Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang¬undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa12 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam). Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 ten tang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sed~r~jat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.
Dalam sejarah perkembangannya, personil peradilan agama sejak dulu selalu dipegang oleh para ulama yang disegani yang menjadi panutan masyarakat sekelilingnya. Hal itu sudah dapat dilihat sejak dari proses pertumbuhan peradilan agama sebagai-mana disebut di atas. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, penghulu keraton sebagai pemimpin keagamaan Islam di lingkungan keraton yang membantu tug as raja di bidang keagamaan yang bersumber dari ajaran Islam, berasal dari ulama seperti KaBjeng Penghulu Tafsir Anom IV pada Kesunanan Surakarta. Ia pemah mendapat tugas untuk membuka Madrasah Mambaul Ulum pada tahun 1905. Demikian pula para personil yang telah banyak berkecimpung dalam penyelenggaraan peradilan agama adalah ulama-ulama yang disegani, seperti: KH. Abdullah Sirad Penghulu Pakualaman, KH. Abu Amar Penghulu Purbalingga, K.H. Moh. Saubari Penghulu Tegal, K.H. Mahfudl Penghulu Kutoarjo, KH. Ichsan Penghulu Temanggung, KH. Moh. Isa Penghulu Serang, KH.Musta’in Penghulu T1;1ban, dan KH. Moh. Adnan Ketua Mahkamah Islam Tinggi tiga zaman (Belanda, Jepang dan RI) (Daniel S. Lev: 5-7). Namun sejak tahun 1970-an, perekrutan tenaga personil di lingkungan peradilan agama khususnya untuk tenaga hakim dan kepaniteraan mulai diambil dati alumni lAIN dan perguruan tinggi agama.
Dari uraian singkat tentang sejarah perkembangan peradilan agama tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan agama bercita-cita untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan hukum kepada masyarakat. Agar pengayoman hukum dan pelayanan hukum tersebut dapat terselenggara dengan baik, diperlukan perangkat sebagai berikut :
Kelembagaan
Peradilan Agama yang mandiri sebagaimana lingkungan peradilan yang lain - yang secara nyata - didukung dengan sarana dan prasarana serta tatalaksana yang memadai dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Materi Hukum
Hukum Islam sebagai hukum materiil peradilan agama yang dituangkan dalam ketentuan perundang-undangan yang jelas. Dimulai dengan Kompilasi Hukum Islam, yang selanjutnya perlu disempurnakan dan dikembangkan, kemudian hukum mengenai shadaqah dan baitul mal segera dibentuk. Demikian pula dengan hukum formil peradilan agama perlu dikembangkan.
Dalam melaksanakan tugas kedinasan ia sebagai aparat penegak hukum yang profesional, netral (tidak memihak) dan sebagai anggota masyarakat ia orang yang menguasai masalah keislaman, yang menjadi panutan dan pemersatu masyarakat sekelilingnya serta punya integritas sebagai seorang muslim
Sejarah Singkat Pengadilan Agama di Tuban
Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, bahkan seringkali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa (kolonial Belanda) dan golongan masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama melemah.
Sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing. Kerajaan Islam Pasal yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten. Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti: Tidore dan Makasar. Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara, sangat besar perannya dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia (Muchtar Zarkasyi : 21).
Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota - kota pesisir secara damai tanpa melaIui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam tersebut yakni:
DaIam keadaan tertentu, terutama bila tidak ada hakim di suatu wilayah tertentu, maka dua orang yang bersengketa itu dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap memenuhi syarat. Tahkim (menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai otoritas menyelesaikan masaIah hukum) hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan mentaati putusannya nanti, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had (ketentuan hukum yang sudah positif bentuk hukumnya) dan ta ‘zir (kententuan hukum yang bentuk hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat).
Bila tidak ada Imam, maka penyerahan wewenang untuk pelaksanaan peradilan dapat dilakukan oleh ahlu al-hally wa al-aqdi (lembaga yang mempunyai otoritas menentukan hukuman), yakni para sesepuh dan ninik mamak dengan kesepakatan.
Tauliyah dari Imamah pada dasarnya peradilan yang didasarkan atas pelimpahan wewenang atau delegation of authority dari kepala negara atau orang-orang yang ditugaskan olehnya kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu. Dengan mengikuti ketiga proses pembentukan peradilan tersebut di atas, dapatlah diduga bahwa perkembangan qadla al- syar’i (peradilan agama) di Indonesia dimulai dari periode TAHKlM,- yakni pada permulaan Islam menginjakkan kakinya di bumi Indonesia dan dalam suasana masyarakat sekeliling belum mengenal ajaran Islam, tentulah orang-orang Islam yang bersengketa akan bertahkim kepada ulama yang ada. Kemudian setelah terbentuk kelompok masyarakat Islam yang mampu mengatur tata kehidupannya sendiri menurut ajaran barn tersebut atau di suatu wilayah yang pemah diperintah raja-raja Islam, tetapi kerajaan itu punah karena penjajahan, maka peradilan Islam masuk ke dalam periode tauliyah (otoritas hukum) oleh ahlu al-hally wa al- aqdi. Keadaan demikian ini jelas terlihat di daerah-daerah yang dahulu disebut daerah peradilan adat, yakni het inheemscherechtdpraak in rechtsstreeks bestuurd gebied atau disebut pula adatrechtspraak. Tingkat terakhir dari . perkembangan peradilan agama adalah periode tauliyah dari imamah (otoritas hukum yang diberikan oleh penguasa), yakni setelah terbentuk kerajaan Islam,maka otomatis para hakim diangkat oleh para raja sebagai wali al-amri (Daniel S. Lev: 1-2).
Hari Ini | 412 | |
Minggu Ini | 5047 | |
Bulan Ini | 20771 | |
Total Pengunjung | 466214 | |
Online | 10 | |
Total Hits | 2018947 | |