A. Pendahuluan
Pergaulan bebas antara muda-mudi yang banyak terjadi sekarang ini, seringkali membawa kepada hal-hal yang negatif yang tidak dikehendaki, seperti hubungan seks luar nikah dan hamil luar nikah. Hal ini disebabkan oleh adanya pergesekan budaya, sehingga pada saat ini menggejala dimasyarakat adanya hidup bersama antara seorang pria dan wanita tanpa adanya ikatan perkawinan. Anak yang lahir di luar nikah mendapatkan julukan dalam masyarakat sebagai anak haram, hal ini menimbulkan gangguan psikologis bagi anak, walaupun secara hukum anak tersebut tidak mempunyai akibat hukum dari perbuatan orang tuanya, namun banyak persoalan yang muncul akibat hamil luar nikah tersebut, seperti hubungan nasab antara anak dengan bapak biologisnya, dan lain sebagainya dari berbagai perspektif hukum.
Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa kedudukan anak dalam ayat (1) selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri, namun sampai dengan saat ini pemerintah belum juga mengeluarkan peraturan pemerintah tentang kedudukan anak luar kawin sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak mengatur tentang kedudukan anak luar kawin, sehingga sampai sekarang persoalan tentang kedudukan anak luar kawin pengaturannya masih terkatung-katung karena Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan hanya menyebutkan tentang hubungan keperdataannya saja sedangkan terhadap hak-haknya yang harus dilindungi sebagai seorang manusia tidak mendapat pengaturan yang jelas dan terperinci. Sebagai akibat dari hubungan perdata dengan pihak ibu dan keluarga ibunya, anak tersebut hanya akan mendapatkan hak waris dari ibu dan keluarga ibunya saja, termasuk segala bentuk pemeliharaan sampai anak itu dewasa hanya menjadi tanggungjawab ibunya. Sekilas saja ketentuan tersebut mengandung ketidakadilan bagi si ibu dan anaknya, karena untuk membenihkan anak tersebut dalam rahim ibunya pasti ada peran dari pihak laki-laki sebagai ayah biologisnya. Lalu karena si ayah tidak mengakui atau tidak kawin dengan si perempuan itu, maka hubungan keperdataannya menjadi terputus dengan si ayah, padahal hubungan hukum tersebut sangat diperlukan oleh si anak untuk bisa menuntut hak pemeliharaan yang wajar seperti halnya anak-anak yang lain pada umumnya.