A. Pengadilan dan Kondisi Objektif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan
Negara hukum tunduk kepada the rule of law, kedudukan pengadilan dianggap sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman (judicial power) yang berperan sebagai katup penekan (pressure valve) atas segala pelanggaran hukum dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu, pengadilan masih relevan sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan, sehingga secara teoritis masih diandalkan sebagai badan yang berfungsi dan berperan menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice).
Terwujudnya keadilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan merupakan dambaan dari setiap pencari keadilandimanapun. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman merumuskan di dalam Pasal 4 ayat (2): “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biayaringan”. Bahwa dalam negara hukum yang tunduk kepada the rule of law, kedudukan peradilan dianggap sebagai pelaksana kekuasaan Kehakiman (judicial power) yangberperan:
1. Sebagai katup penekan (pressure valve) atas segala atas perjanjian hukum dan ketertibanmasyarakat.
2. Oleh karena itu peradilan masih tetap relevan sebagai the last resort atau pelabuhan terakhir mencari kebenaran dan keadilan (to enforee the truth and justice).
Berdasarkan
kedudukan pengadilan sebagai katup penekan dan tempat terakhir mencari
keadilan, peradilan memiliki fungsi dan peran sebagai penjaga kemerdekaan
masyarakat (in guarding the freedom society) dan wali masyarakat (regarding
as custodian society) dan sebagai pelaksanaan penegakan hukum (judiciary
as the upholder of the rule of the law).
Namun dalam praktiknya di pengadilan seringkali ditemukan hal yang mengganjal dalam sistem peradilan yang tidak efektif dan efisien, penyelesaian perkara memakan waktu bertahun-tahun, proses yang lama, dapat diajukan hukum yang berkepanjangan mulai dari banding, kasasi dan peninjauan kembali, setelah berkekuatan hukum tetap, eksekusi dibenturkan lagi hukum verzet. Selain proses yang lama dan biaya mahal, penyelesaian sengketa melalui litigasi juga menimbulkan penumpukan jumlah perkara di pengadilan.
Oleh karena itu, yang mendasari lahirnya Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ialah untuk menyikapi problematika hukum yang dihadapi oleh masyarakat, Mahkamah Agung RI sebagai lembaga tertinggi penyelenggara kekuasaan kehakiman selalu berusaha mencari solusi yang terbaik demi tegaknya aturan hukum dan keadilan. Produk-produk hukum baru berikut perangkat teknisnya diformulasikan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan dimensi hukum. Tertunggaknya perkara dan ketidakpuasan para pencari keadilan terhadap putusan pengadilan. Mahkamah Agung mencoba mengintegrasikan proses penyelesaian sengketa alternatif (non litigasi) dalam hal ini mediasi ke dalam proses peradilan (litigasi), yaitu dengan menggunakan proses mediasi untuk mencapai perdamaian pada tahap upaya damai di persidangan dan hal inilah yang biasa disebut dengan lembaga damai dalam bentuk mediasi ataulembaga mediasi yang bertujuan memfungsikan asas sederhana cepat dan biaya ringan serta untuk mengurangi penumpukan perkara.
Prinsip
peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan adalah salah satu prinsip
dalam sistem hukum Indonesia. Namun meskipun berbagai peraturan hukum telah
dibuat untuk mendukungnya, prinsip ini masih belum terimplementasi dengan baik.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa jangka waktu yang telah ditentukan oleh
Mahkamah Agung sering kali tidak bisa terealisasi, bahkan jika suatu kasus
mencapai Mahkamah Agung, bisa dipastikan bahwa waktu penyelesaian perkara akan
memakan waktu yang lama. Tumpukan perkara di Mahkamah Agung merupakan salah
satu faktor mengapa penyelesaian perkara begitu lambat. Maka dari itu, perlu
diselesaikan terlebih dahulu masalah penumpukan perkara. dan pembatasan perkara
ialah suatu konsep yang banyak dibicarakan untuk mengurangi tumpukan perkara
tersebut.
BACA ARTIKEL SELENGKAPNYA DISINI>>>>