PENDAHULUAN
Salah satu
tahapan yang harus dilalui dalam proses litigasi adalah upaya pembuktian. Menjadi
kewajiban para pihak berperkara dalam pembuktian adalah meyakinkan mejelis
hakim tentang dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan atau dalam
pengertian yang lain yaitu kemampuan para pihak memanfaatkan hukum pembuktian untuk
mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang
didalilkan (dibantahkan) dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Oleh karena
itulah menjadi suatu asas bahwa barang siapa yang mendalilkan sesuatu maka
harus membuktikannya [1]. Membuktikan artinya
mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/peristiwa berdasarkan
alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.
Tugas hakim
didalam hukum acara perdata adalah menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang
menjadi dasar gugatan telah benar-benar ada atau tidak, adanya hubungan hukum
inilah yang harus terbukti apabila para pihak menginginkan kemenangan dalam
suatu perkara, apabila para pihak tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya
yang mendasar gugatan maka gugatannya akan dikalahkan dan apabila mampu
membuktikan gugatan maka gugatannya akan dimenangkan.
Hukum acara perdata mengenal beberapa macam alat bukti dan hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, artinya hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Alat-alat bukti dalam hukum acara perdata dikenal ada 5 (lima) macam, yaitu : (a) Bukti tulisan/Bukti dengan surat (b) Bukti Saksi (c) Persangkaan (d) Pengakuan (e) Sumpah.
Globalisasi
informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi
dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan
Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan
Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke
seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sebagai respon terhadap perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru maka dibentuklah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kemudian telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.
UU ITE telah menegaskan bahwa Informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik begitu juga hasil cetak dari informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik telah diakui menjadi alat bukti hukum yang sah
dalam undang-undang tersebut [3], sebagai "perluasan" terhadap alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang
berlaku di Indonesia.
[1]Pasal 163 HIR
[2]Pasal 164 HIR, 284 R.Bg dan Pasal 1866 KUH Perdata.
[3]Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime) Urgensi dan Pengaturan Celah Hukumnya, Jakarta, Raja Grafindo, 2012, hlm.ix
SELENGKAPNYA KLIK DISINI >>>